Minggu, 26 Desember 2010

Kompensasi PNS Berupa Pemberian Remunerasi, Efektifkah?

Kompensasi merupakan balas jasa yang di berikan oleh organisasi/perushaan kepada pegawai/karyawan, yang bersifat finansial maupun nonfinansial, pada periode yang tetap. Sisitem kompensasi yang baik akan mampu memberikan kepuasan bagi karyawan dan memungkinkan perusahaan memperoleh, mempekerjakan, dan mempertahankan pegawai/karyawan.
Bagi organisasi/perusahaan, kompensasi memiliki arti penting karena konpensasi mencerminkan upaya organisasi/perusahaan dalam mempertahankan dan meningkatakan kesejahteraan pegawai/karyawan. pengalaman menunjkan bahwa  kompensasi yang tidak memadai dapat menurunkan prestasi kerja,motivasi kerja, dan kepuasan kerja oegawai/karyawan, bahkan dapat menyebabkan karyawan yang potensial keluar dari organisasi/perusahaan.
Sistem kompensasi berpotensi sebagi salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan satu persepsi bahwa " kompensasi tidak lebih sekedar a cost yang harus diminimalissasi". Tanpa si sadari beberapa organisasi yang mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut  justru sebagai saran meningkatkan prilaku yang tidak produktif  atau counter produvtive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal  misalnya low employe motivation , poor job performance, high turn over, irresponsible behaviour, dan bahkan employee dishonesty yang diyakini berakar dari sistem kompensasi yang tidak propesional. secara umum  kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat sesuia dengan keinginan organisasi
Program pemberian kompensasi berupa remunerasi adalah berupa preogram pemberian tunjangan tambahan yang diberikan kepada masing-masing pegawai atau pejabat  sesuia dengan kinerjanya. program remunerasi dari pemerintah pusat rencananya akan direalisasikan untuk 12 kementrian atau lembaga. yaitu Kemenko perekonomian,Bappenas,BPKP,Kemenko polhukam,kementrian pertahanan, kementrian hukum dan HAM,TNI,Polri,Kejaksaan,Kementrian pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, Lembaga administrasi negara dan Badan kepegawaian negara.
Dengan bakal di realisasikan program remunerasi, berarti seluruh prajurit TNI,Polri serta PNS kejaksaan di daerah-daerah akan menerima tunjangan kinerjanya, Remunerasi tahun ini di prioritaskan untuk lembaga yang melayani publik,, bergerak di bidang ekonomi, dan hukum. TNI, Polri, BPKP, dan kejaksaan masuk dalam wilayah hukum karena itu jadi prioritas, Tujuannya adalah selain meningkatkan kinerja , remunerasi bertujuan mencegah tindakan praktek korupsi.
Tidak ada yang meragukan argumentasi bahwa pemberian remunerasi dapat meningkatkan kinerja seorang. Tetapi pemberian remunerasi untuk mencegah untuk praktek korupsi di ragukan. Bukti yang paling hangat adalah apa yang telah di lakukan pegawai dirjen pajak, Gayus Tambunan. Pemberian remunerasi bukan satu-satunya solusi  untuk menyelesaikan persoalan oknum pegawai yang menyalahgunakan kewenangannya apa lagi mentalitas pekerja yang umumnya masih patront elient.
Reformasi birokrasi adalah sebuah solusi mencegah perilaku korupsi. remunerasi adalah salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi. reformasi birokrasi tidak boleh hanya fokus pada remunerasi saja karena masih ada aspek lain dari reformasi birokrasi yaitu rekruitmen, sistem kerja, penempatan satf, monitoring, Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup mencegah perilaku korupsi. Tetap bila reformasi hanya berfokus pada satu aspek  maka yaitu pemberian remunerasi saja maka reformasi tersebut akan pincang atau tidak efktif 

Jumat, 24 Desember 2010

basketball indonesia "polemik di team garuda bandung"

Kebijakan manajemen Garuda Bandung merombak susunan tim kepelatihan membawa dampak negatif bagi tim asal kota kembang tersebut. Hal ini tercermin dari absennya asisten pelatih Johannis Winar atau yang akrab disapa Ahang dalam beberapa kali latihan. Rumor yang berkembang, tindakan indisipliner Ahang ini disebabkan dirinya merasa dilangkahi dalam proses pergantian pelatih yang dilakukan oleh manajemen. Dia yang musim lalu bersama pelatih kepala Rastafari Horongbala berhasil membawa Garuda menjadi finalis Indonesian Basketball League (IBL) itu merasa semestinya layak duduk di jabatan pelatih kepala. Seperti diketahui menghadapai kompetisi IBL musim depan manajemen Garuda mengubah komposisi tim pelatih. Pelatih kepala musim lalu, Rastafari Horongbala dipromosikan ke posisi advisor. Sedangkan jabatan pelatih kepala diduduki oleh Raoul Miguel.
Ditanya soal masalah tersebut, Rastafari menyatakan bahwa Ahang memang sudah keluar dari Garuda. Kerancuan terjadi ketika Simon Pasaribu, Manajer Garuda mengeluarkan pernyataan yang berbeda. Simon menyatakan, “Sementara ini, dia (Ahang) masih menjadi bagian Garuda. Dalam dua hari ini kami masih membicarakan posisinya.” Dia tidak mau berandai-andai soal kemungkinan bertahan lebih besar atau tidak. Sementara itu, Ahang yang dimintai komentar justru tidak mau berkomentar banyak mengenai permasalahan terseb

Pemerintahan yang “bongsor”, “langsing” atau “kuat”?

MEREKA yang akrab dengan perdebatan filsafat politik tentu paham benar tentang suatu soal yang menjadi debat seru di kalangan “political theorists”, yaitu soal ukuran besar kecilnya pemerintahan: apakah pemerintahan harus langsing atau bongsor?
Kalangan konservatif atau kanan (dalam tradisi politik di Amerika diwakili oleh Partai Republik) cenderung pada bentuk pemerintahan yang langsing, ramping, dan kecil. Filosofi yang mendasari pandangan ini sangat masuk akal: masyarakat diandaikan seperti sebuah “pasar” yang bekerja seturut hukum-hukum tertentu. Intervensi pemerintah yang berlebihan dalam bekerjanya hukum masyarakat ini akan menimbulkan distorsi.
Selain itu, pemerintahan yang besar dan bongsor seringkali membawa dampak sampingan yang berbahaya, yaitu korupsi, monopoli, dst. Pemerintahan yang besar juga membawa kosekwensi lain dari sudut fiskal, yaitu biaya yang mahal, dan karena itu menuntut pajak yang tinggi. Bagi kalangan praktisi ekonomi, pajak yang tinggi akan mengendorkan sektor usaha, dan pada gilirannya akan mengganggu upaya penciptaan lapangan kerja. Ujung terjauh adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Karena asumsi-asumi semacam ini, kaum konservatif di bangku sebelah kanan cenderung pada pemerintahan yang langsing dan ramping, karena hanya bentuk pemerintahan seperti inilah yang bisa menangkal kemungkinan terjadinya korupsi, salah-urus, selain murah dan efektif.
Kaum konservatif melihat pemerintahan sebagai semacam “necessary evil” atau kejahatan yang terpaksa harus dilakukan karena adanya maslahat tertentu yang bisa dicapai melalui institusi itu. Kaum konservatif jelas bukan kaum anarkis. Meskipun mereka curiga pada pemerintah dan negara, mereka sangat membenci “anarki” dan menekankan “order” atau keteraturan. Bagi mereka, mekanisme sosial yang paling baik untuk mempertahankan keteraturan adalah tradisi, nilai-nilai, asosiasi sukarela yang dikelola sendiri oleh masyarakat, semacam “jam’iyyah” seperti dipahami oleh warga Nahdlatul Ulama (NU).
Itulah yang menjelaskan kenapa kaum konservatif sangat peduli dengan lembaga keluarga. Bagi kaum konservatif, jika ada anggota masyarakat jatuh sakit atau bangkrut, bukan tugas negara untuk menolongnya. Yang pertama-tama wajib memberikan uluran tangan adalah keluarga, tetangga atau komunitas yang menjadi “pengayom” orang bersangkutan. Masyarakat mempunyai “mekanisme sosial” untuk mengatasi “penyakit sosial” yang muncul di kalangan mereka. Negara tak usah ikut campur. Sebagaimana saya katakan di atas, mereka curiga pada pemerintah dan negara, dan lebih percaya pada kekuatan lembaga sosial.
Inilah filosofi kaum konservatif atau kanan. Tentu, apa yang saya sampaikan ini adalah semacam “karikatur” yang hanya memotret ciri-ciri pokok dalam filsafat kaum konservatif sambil memberikan penekanan yang berlebihan pada segi-segi tertentu agar tampak kontras yang ada di dalamnya.
Di seberang kaum konservatif kita jumpai sejumlah pandangan, mazhab, dan arus pemikiran yang bermacam-macam, dan karena tak ada istilah tunggal yang bisa merangkum semuanya, kita sebut saja arus pemikiran kedua ini sebagai kaum kiri (dalam tradisi politik Amerika diwakili oleh Partai Demokrat).
Dalam pandangan mazhab kedua ini, negara adalah institusi yang menjadi harapan pokok masyarakat. Negara adalah “the great dispenser of social welfare”. Negara adalah institusi yang membagi-bagikan tunjangan kepada masyarakat yang tidak mampu. Negara dibebani tugas besar untuk mengatasi semua “kegagalan sosial” yang ada dalam masyarakat.
Karena negara mendapat tugas yang besar, dengan sendirinya negara menjadi gemuk, bongsor, dan menggelembung. Mazhab ini mengkritik kalangan kanan atau konservatif dengan argumen yang tak kalah menariknya. Bagi mereka, mengandaikan masyarakat sebagai sebuah “pasar” yang bekerja menurut hukum-hukum tertentu, sangat tidak realistis. Bentuk masyarakat seperti itu tak ada dalam dunia kongkrit. Negara tidak bisa duduk mencangkung sebagai penonton saja saat terjadi malapetaka dalam masyarakat. Negara harus turun tangan dan ikut menyelesaikannya.
Negara tak bisa membiarkan masyarakat mengatasi masalah sendiri. Alasan berdirinya negara adalah persis untuk menolong masyarakat, bukan sekedar menjadi “polisi yang menjaga lalu-lalang lalu-lintas”. Kaum kiri, dengan kata lain, melihat negara sebagai “mesiah” yang diharapkan memberikan pertolongan dalam semua hal.
Dalam mazhab ini, intervensi negara dalam banyak wilayah masyarakat menjadi besar, terutama dalam wilayah kesejahteraan sosial dan pembangungan ekonomi.
APAKAH perdebatan tentang bentuk negara ini relevan untuk konteks kita di Indonesia saat ini?
Saya kira, masalah yang kita hadapai di Indoensia saat ini bukanlah pemerintah yang bongsor atau langsing. Isu yang jauh lebih urgen adalah soal pemerintah yang kuat dan kompeten. Perdebatan dalam konteks politik Indonesia memang agak sedikit lain.
Pada masa Orde Baru dulu kita akrab dengan perdebatan tentang istilah “strong state”, “negara kuat”, yang pada masa itu dipahami sebagai negara integralistik yang otoriter seperti tercermin dalam contoh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto dulu. Negara ini melakukan intervensi di segala bidang, baik politik, ekonomi, dan budaya. Yang kita lihat pada zaman itu adalah semacam “etatisme” atau kuatnya peran negara atau pemerintah dalam semua bidang. Istilah “regime” tepat untuk menggambarkan pemerintahan pada saat itu, yakni suatu sistem politik yang menegakkan kontrol dalam semua bidang.
Semua orang pada zaman itu memprotes bentuk negara kuat seperti itu. Sekarang, kita menyaksikan hancurnya bentuk negara otoriter seperti itu. Yang kita lihat setelah era reformasi saat ini adalah negara lemah yang lamban, ragu-ragu, dan sama sekali tak kompeten dalam mengatasi masalah. Apakah bentuk negara/pemerintahan seperti ini yang kita inginkan?
Saya sendiri cenderung mengatakan: tidak. Pemerintah yang lemah, sebagaimana kita lihat sendiri, membawa banyak masalah yang teramat serius. Kasus kekerasan sosial dan persekusi agama yang terjadi akhir-akhir ini adalah dampak dari negara atau pemerintahan yang lemah, lamban dan ragu-ragu.
Pemerintahan yang kuat adalah syarat pokok untuk berjalannya suatu “governance” yang normal dan baik. Mungkin, perlu cara pandang lain untuk mendefinisikan pemerintah kuat saat ini. Pemerintah kita sebuat kuat bukan dalam pengertian otoriter dan intrusif seperti dalam pengalaman Orde Baru dulu. “Kuat” di sini kita pahami sebagai kemampuan pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh publik. Tetapi ia tetap pemerintahan yang demokratis karena selalu terbuka pada kritik, kontrol, dan sirkulasi (melalui pemilu yang “fair”).
 
Resistance Bands Free Blogger Templates